Jumat, 04 Maret 2016

Pembelajaran CTL



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta didik yang aktif, kreatif, dan inovatif. Peserta didik berhasil dalam “mengingat” jangka pendek, tapi gagal dalam membekali peserta didik dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan pendekatan pembelajaran yang lebih bermakna sehingga dapat membekali peserta didik dalam menghadapi permasalahan hidup yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Pendekatan pembelajaran yang cocok untuk hal di atas adalah pembelajaran kontekstual (CTL).
Contextual Teaching and Learning merupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta idik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi, maupun kultural. Sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep pembelajaran kontekstual?
2.      Bagaimana karakteristik pembelajaran kontekstual?
3.      Apa saja landasan teori pembelajaran kontekstual?
4.      Bagaimana prinsip pembelajaran kontekstual?
5.      Apa saja asas-asas pembelajaran kontekstual?
6.      Bagaimana pola dan tahapan pembelajaran kontekstual?
7.      Bagaimana kelebihan dan kekurangan pembelajaran kontekstual?
C.  Tujuan
1.      Untuk memahami pengertian pembelajaran kontekstual
2.      Untuk mengetahui karakteristik pembelajaran kontekstual
3.      Untuk mengetahui landasan pembelajaran kontekstual
4.      Untuk memahami prinsip-prinsip yang terdapat dalam pembelajaran kontekstual
5.      Untuk mengetahui beberapa asas-asas pembelajaran kontekstual
6.      Untuk memahami beberapa pola dan tahapan pembelajaran kontekstual
7.      Untuk memahami kelebihan dan kekurangan pembelajaran kontekstual


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju dengan nama beragam. Seperti halnya di negara Belanda disebut dengan istilah “Realistic Mathematics Education (RME)” yang menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Sedangkan di Amerika disebut dengan istilah “Contextual Teaching and Learning” (CTL)” yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan dan memotivasi peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari mereka.[1]
Menurut Johnson, pembelajaran kontekstual berarti suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya.[2]
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar`diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL ini tidak mengahrapkan siswa hanya dapat menerima pelajaran, akan tetapi siswa diharapkan untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.[3]
Kedua, CTL mendorong siswa untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Dengan artian, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Sebab, dengan adanya korelasi materi yang ditemukan dengan kehidupan yang nyata dapat menanamkan dengan erat dalam memori siswa mengenai materi yang dipelajarinya sehingga sulit untuk dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan. Dengan kata lain, CTL tidak hanya mengaharapkan siswa memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi materi pelajaran itu diharapkan dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Dengan demikian, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa dan proses pembelajarannya berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja serta mengalami, dan bukan lagi transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dari sinilah, strategi pembelajaran lebih dipertimbangkan dari pada hasil belajar. Sebenarnya, pembelajaran kontekstual ini bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik dengan konteks keadaan pribadi, sosial, maupun budaya mereka.[5]
Contextual Teaching and Learning is a conception to teaching and learning that helps teachers relate matter content to real world situations; and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workes and engage in the hard work that learning requires. Yang artinya pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi dari pembelajaran yang membantu pembelajar/guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi yang sebenarnya dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan pengetahuan dengan penerapan di dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta mengikatnya di dalam kerja keras yang diperlukan dalam belajar.[6]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga seorang pembelajar hanya bertugas memfasilitasi proses tersebut dengan cara menjadikan pengetahuan itu bermakna relevan bagi peserta didik, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan menyadarkan peserta didik agar menerapkan strateginya dalam belajar.
B.     Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Menurut Johnson ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut:[7]
a.       Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Artinya, siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang yang dapat bekerja sendiri atau kelompok dan orang yang dapat belajar berbuat (learning by doing).
b.      Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Artinya, siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
c.       Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning).
d.      Bekerja sama (collaborating). Artinya, siswa dapat bekerja sama, guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling memengaruhi dan saling berkomunikasi.
e.       Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Artinya, siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika serta bukti-bukti.
f.       Mengasuh atau memelihara pribadi siswa  (nurturing the individual). Artinya, siswa memlihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi, dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
g.      Mencapai standar yang tinggi (reaching high standars). Artinya, siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
h.      Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman siswa perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian, penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisa, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan hanya pada hasil pembelajaran.
Selain karakteristik di atas, Hanafiah dan Cucu Suhana dalam bukunya yang berjudul “Konsep Strategi Pembelajaran” mengemukakan beberapa karakteristik pembelajaran kontekstual antara lain:[8]
1.      Kerja sama antarpeserta didik dan guru (cooperative).
2.      Saling membantu antarpeserta didik dan guru (assist).
3.      Belajar dengan bergairah (enjoyfull learning).
4.      Pembelajaran terintegrasi secara kontekstual.
5.      Menggunakan multi media dan sumber belajar.
6.      Cara belajar siswa aktif (student active learning).
7.      Sharing bersama teman (take ang give).
8.      Siswa kritis dan guru kreatif.
9.       Dinding kelas dan lorong kelas penuh dengan karya siswa.
10.  Laporan siswa bukan hanya buku rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan sebagainya.
C.      Landasan Teori Pembelajaran Kontekstual
Ada beberapa teori yang berkembang berkaitan dengan metode Contextual Teaching and Learning adalah sebagai berikut:[9]
a.       Knowledge-Based Constructivism
Teori ini beranggapan bahwa belajar bukan menghafal, melainkan mengalami, dimana peserta didik dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, melalui partisipasi aktif secara inovatif dalam proses pembelajaran.
b.      Effort-Based Learning/Incremental Theory of Intellegence
Teori ini beranggapan bahwa bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar akan mendorong peserta didik memiliki komitmen terhadap belajar.
c.       Socialization
Teori ini beranggapan bahwa belajar merupakan proses sosial yang menentukan terhadap tujuan belajar. Oleh karena itu, factor sosial dan budaya merupakan bagian dari sistem pembelajaran.
d.      Situated Learning
Teori ini beranggapan bahwa pengetahuan dan pembelajaran harus situasional, baik dalam konteks secara fisik maupun konteks sosial dalam rangka mencapai tujuan belajar.
e.       Distributed Learning
Teori ini beranggapan bahwa manusia merupakan bagian integrasi dari proses pembelajaran, yang di dalamnya harus ada terjadinya proses berbagi pengetahuan dan bermacam-macam tugas.



D.  Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Dalam menerapkan pembelajaran kontekstual di dalam kelas, terlebih dahulu para guru memahami prinsip-prinsip ilmiahnya. Johnson menyebutkan tiga prinsip ilmiah dalam CTL sebagai berikut:[10]
1)   Prinsip Saling-Bergantungan
Prinsip ini merupakan prinsip kebersamaan. Karena setiap individu membutuhkan atau saling bergantung kepada individu yang lain. Seperti halnya, saling ketergantungan antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan peserta didik lain, peserta didik dengan masyarakat luar sekolah, dan masyarakat luar sekolah dengan peserta didik. Prinsip inilah, yang kemudian dapat menghubungkan konteks dan menemukan makna dari persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari situlah, selanjutnya guru atau peserta didik maupun masyarakat dapat memecahkan persoalan, merancang suatu rencana, mengambil keputusan dan kesimpulan secara bersma-sama.
2)   Prinsip Diferensiasi
Prinsip ini sangat menghargai dan menjunjung tinggi keberagaman. Dlam hal ini, CTL memberikan peluang dan kesempatan untuk saling isi dan mengisi serta memberi perhatian individu lebih panjang dan terkonsentrasi. Dengan kata lain, CTL memandang perbedaan dan keberagaman bukanlah suatu kegagalan dalam pembelajaran tetapi merupakan seni dan ragam yang akan menjadikan pembelajaran berkualitas dan bermakna. Selain itu, untuk dapat menciptakan peserta didik menjadi dirinya sendiri (learning to be) dan mereka akan berkemabng sesuai dengan  kemampuan yang dimilikinya.  
3)   Prinsip Pengaturan Diri
Prinsip ini meminta guru untuk mendorong setiap peserta didik mengeluarkan seluruh potensinya. Sasaran CTL adalah menolong peserta didik mencapai keunggulan akademik, memperoleh keterampilan karier, dan mengembangkan karakter dengan cara menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta pengetahuan pribadinya. Ketika peserta didik menghungkan materi akademik dengan konteks keadaan pribadi, maka terlihatlah prinsip pengaturan dirinya. Seperti halnya ketika seorang peserta didik bergabung dengan peserta didik lainnya untuk memperoleh pengertian baru dan untuk memperluas pandangan mereka. Dalam melakukan hal tersebut, para peserta didik menemukan minat mereka, keterbatasan mereka, dan kekuatan imajinasi mereka dan akhirnya mereka juga dapat menemukan siapa diri mereka dan apa yang bisa mereka lakukan.
Dari ketiga prinsip tersebut, terlihat bahwa pembelajaran kontekstual lebih memberi kesempatan pada peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik merasa dirinya adalah bagian dari kesatuan dalam proses yang diikuti, memupuk kebersamaan, saling menghargai pendapat, menghormati gagasan orang lain, tidak takut berbeda, dan menjadikan dirinya sendiri. Dengan pembelajaran kontekstual pengetahuan peserta didik menjadi lebih berkembang da tumbuh melalui pengalaman-pengalaman dunia nyata yang diadaptasinya.
E.  Asas-Asas Pembelajaran Kontekstual
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk guru, akan tetapi dari proses menemukan dan mengkonstruksinya sendiri. Maka guru harus menghindari mengajar sebagai penyampaian informasi. CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas inilah yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Ketujuh asas ini sering kali disebut sebagai komponen pembelajaran kontekstual. Ketujuh asas ini akan dijelaskan di bawah ini.[11]
1.    Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Dengan demikian, pengetahuan itu tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a.       Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b.      Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c.       Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Dengan demikian, pembelajaran kontekstual diharapkan untuk mendorong siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalamannya sendiri. Karena suatu pengetahuan itu dapat dikatakan fungsional manakala dibangun oleh individu itu sendiri. 
2.    Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hanya sekedar mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Seorang guru harus bisa merancang suatu pembelajaran dalam bentuk kegiatan menemukan (inquiry) dan dalam bentuk apapun materinya yang akan diajarkan. Siklus inquiry terdiri dari:[12]
1)      Observasi (Observation)
2)      Bertanya (Questioning)
3)      Mengajukan dugaan (Hypotesis)
4)      Pengumpulan data (Data gathering)
5)      Penyimpulan (Conclussion)
Adapun langkah-langkah kegiatan inquiry adalah sebagai berikut:[13]
a.       Merumuskan masalah,
b.      Mengamati atau melakukan observasi,
c.       Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
d.      Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiensi yang lain.
3.    Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya dalam  pembelajaran berguna untuk:[14]
1)      Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
2)      Mengecek pemahaman siswa
3)      Memecahkan persoalan yang dihadapi
4)      Membangkitkan respons kepada siswa
5)    Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
6)      Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
7)      Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
8)      Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
9)      Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
4.    Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, guru disarankan untuk selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Masyarakat belajar artinya bahwa seseorang kaya dengan pengetahuan dan pengalaman tatkala mereka banyak belajar dengan orang lain. Membentuk masyarakat belajar adalah melibatkan beberapa orang untuk belajar (dua orang lebih). Di dalam masyarakat belajar terjadi komunikasi dua arah yakni antara satu dengan lainnya, antara peserta didik dengan gurunya. Praktik dalam pembelajaran “masyarakat belajar” terwujud dalam:[15]
a.       Pembentukan kelompok kecil
b.      Pembentukan kelompok besar
c.       Mendatangkan “ahli” ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, budayawan, petani, perawat, polisi, pengurus organisasi, tukang kayu, dll.)
d.      Bekerja dengan kelas sederajat
e.       Bekerja kelompok dengan kelas diatasnya
f.       Bekerja dengan masyarakat.
5.    Pemodelan (Modeling)
Proses pembelajaran akan lebih berarti jika didukung dengan adanya pemodelan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan (identifikasi) maupun yang bersifat fisik (imitasi) yang berkaitan dengan cara untuk mengoperasikan sesuatu aktivitas dan cara untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan tertentu. Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, peserta didik, atau dengan cara mendatangkan narasumber dari luar (outsourcing), yang terpenting dapat membantu terhadap ketuntasan dalam belajar (mastery learning) sehingga peserta didik dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti.[16]
Seperti halnya guru bahasa inggris yang mendatangkan seorang penutur asli bahasa inggris ke dalam kelas untuk menjadi model baik dari cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya. Dengan demikian, siswa akan mampu meniru dan melaksanakannya jika dia telah melihat, memahami, mendengar, dan mencoba apa-apa yang telah dibuat model.[17]
6.    Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru diterima. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya  tentang apa yang baru dipelajarinya. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa:[18]
1)      Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu
2)      Catatan atau jurnal di buku siswa
3)      Diskusi
4)      Hasil karya
7.    Penilaian Nyata (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) adalah kegiatan menilsi siswa yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian. Ciri-ciri penilaian autentik adalah:[19]
1)      Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk
2)      Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
3)      Menggunakan berbagai cara dan sumber
4)      Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian
5)      Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari
6)      Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas).
Hal-hal yamg bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain:[20]
a.       Proyek/kegiatan dan laporannya
b.      Hasil tes tulis
c.       Portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun)
d.      Pekerjaan rumah
e.       Kuis
f.       Karya siswa
g.      Presentasi atau penampilan siswa
h.      Demonstrasi
i.        Laporan
j.        Jurnal
k.      Karya tulis
l.        Kelompok diskusi
m.    Wawancara
F.   Pola dan Tahapan Pembelajaran Kontekstual
Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini.[21]
a.      Pendahuluan
1)      Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari
2)      Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL:
·      Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa
·      Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi
·      Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan di tempat observasi tersebut.
3)      Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa.
b.      Inti
Di lapangan
1)      Siswa melakukan observasi ke tempat tertentu sesuai dengan pembagian tugas kelompok
2)      Siswa mencatat hal-hal yang mereka temukan di tempat observasi sesuai dengan alat observasi yang telah mereka tentukan sebelumnya
Di dalam kelas
1)      Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing
2)      Siswa melaporkan hasil diskusi
3)      Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok yang lain
c.       Penutup
1)      Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai
2)      Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalaman belajar mereka.
G. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kontekstual
Kelebihan pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:[22]
1.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata.
2.      Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran kontekstual menganut aliran konstruktivisme, dimana siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri.
Sedangkan kelemahan pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:[23]
1.      Guru lebih intensif dalam membimbing
Dalam metode CTL guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Sehingga peran guru bukanlah sebagai instruktur atau penguasa yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2.      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.



















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga seorang pembelajar hanya bertugas memfasilitasi proses tersebut dengan cara menjadikan pengetahuan itu bermakna relevan bagi peserta didik, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan menyadarkan peserta didik agar menerapkan strateginya dalam belajar.
Ada beberapa catatan dalam penerapan CTL sebagai suatu strategi pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1.    CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental
2.    CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal, akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata
3.    Kelas dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan di lapangan
4.    Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain.
B.  Saran
Setitik harapan dari kami sebagai penyusun kepada semua pihak baik pengoreksi maupun pembaca untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Karena makalah yang kami susun ini masih terlihat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah dan Cucu Suhana. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Refika Aditama. 2012.
Kunandar. Guru Profesional:Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Martinis Yamin. Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik. Jakarta: GPP Press. 2012.
Martinis Yamin. Strategi dan Metode dalam Model Pembelajaran. Jakarta: GP Press Group. 2013.
Muchlis Solichin. Pengelolaan Pembelajaran. Surabaya: Pena Salsabila. 2013.
Trianto. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana. 2010.
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2006.





[1] Kunandar, Guru Profesional:Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.301
[2] Ibid, hlm. 301
[3] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 253
[4] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm. 253-254              
[5] Muchlis Solichin, Pengelolaan Pembelajaran, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 107
[6]  Martinis Yamin, Strategi dan Metode dalam Model Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Group, 2013), hlm. 52
[7] Muchlis Solichin, Pengelolaan Pembelajaran, hlm. 109-110
[8] Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), hlm. 69
[9] Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, hlm. 68

[10] Martinis Yamin, Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik, (Jakarta: GPP Press, 2012), hlm. 91-92
[11] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm. 261-266             
[12] Martinis Yamin, Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik,  hlm. 82
[13] Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 114
[14] Ibid, hlm. 316
[15] Martinis Yamin, Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik,  hlm. 84
[16] Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, hlm. 68
[17] Martinis Yamin, Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik,  hlm. 91-92

[18] Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hlm. 114
[19] Ibid, hlm. 321
[20] Ibid, hlm. 322
[21] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm. 268
[22] Muchlis Solichin, Pengelolaan Pembelajaran, hlm. 113-114
[23] Muchlis Solichin, Pengelolaan Pembelajaran, hlm. 114