Rabu, 01 Juni 2016

makalah tentang pengalaman dan motivasi beragama serta fungsi agama dalam kehidupan manusia



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Agama ialah sistem norma yang mengatur manusia dengan yang lainnya, sebuah sistem nilai yang memuat norma-noma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku. Pengaruh agama dalam kehidupan individu memberi kemantaapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa puas, dalam hali ini agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi juga merupakan harapan. Dalam hal ini akan dibahas tentang bagaimanakah peran pengalaman dan motovasi dalam agama serta bagaimanakah fungsinya bagi kehidupan seseorang.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Bagaimana hakikat pengalaman beragama?
2.    Bagaimana motivasi dalam beragama?
3.    Apa saja fungsi agama dalam kehidupan manusia?
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengalaman beragama.
2.      Untuk mengetahui motivasi beragama.
3.      Untuk mengetahui beberapa fungsi agama dalam kehidupan manusia.









BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengalaman Beragama
Psikologi modern tampaknya telah mengungkapkan berbagai pendekatan mengenai hubungan manusia dengan agama, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan hanya terbatas pada pengalaman empiris saja. Seperti halnya pendapat Sigmund Freud yang mengatakan bahwa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Selain itu, menurutnya agama juga tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari pada agama karena rasa ketakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu, manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya.[1]
Ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman beragama. Yang pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan sebagai pengalaman beragama adalah ilusi belaka. Pandangan ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli psikologi, sosiologi, dan para pemikir filsafat. Pandangan yang kedua mengakui eksistensi pengalaman beragama, namun mengatakan bahwa pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman yang bercorak umum. Dewey, Wieman, Ames, dan para pemikir bangsa Eropa dan Amerika yang lain adalah pengemuka pendapat ini. Pandangan ketiga, mempersamakan antara bentuk sejarah agama dengan pengalaman beragama, suatu kebiasaan yang menjadi ciri sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat agama. Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu pengalaman keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan kriteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang manapun.[2]
Dalam hal ini, Skinner salah seorang tokoh Behaviorisme, tidak menyinggung perilaku keagamaan secara khusus. Meskipun ia tampak sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya pada kenyataan bahwasanya agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarkat. Dalam hubungan ini pula, Skinner melihat agama sebagai isme sosial yang lahir dari adanya faktor penguat. Menurutnya, kegiatan keagamaan menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan yang bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikannya dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[3]
Sedangkan menurut Abraham Maslow, yang lebih jelas membahas perilaku keagamaan adalah psikologi humanistik. Psikologi humanistik berusaha memahami segi esoterik (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki tungkatan yaitu dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan, minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan ini dimanifestasikan, antara lain dalam bentuk tempat tinggal yang permanen. Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Manusia membutuhkan perhatian dan keintiman dalam pergaulan hidup. Keempat, kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi diri, antara lain dengan berbuat sesuatu yang berguna. Pada tahap ini, manusia ingin agar buah pikirannya dihargai.[4]
Pedekatan berikutnya dikemukakan oleh Victor Frankle pendiri aliran logo terapi. Menurut Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yakni spirituality (kerohanian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab). Memang, Frankle menggunakan istilah spirituality tidak dihubungkan dengan keberagamaan, melainkan semata-mata dikaitkan dengan penghayatan maknawi manusia akibat adanya kemampuan transendensi terhadap dirinya dan lingkungannya.[5]
Pengalaman beragama ini bisa berupa pengalaman kerohanian. Biasanya orang yang mengalami hal ini seakan-akan ia menyentuh apa yang berada di luar duniawi. Pengalaman beragama yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Akan tetapi, karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia maka seringkali pengalaman yang suci bercampur dengan hal-hal yang bersifat duniawi sehingga kesuciannya menjadi dangkal. Contoh pengalaman beragama yang suci yaitu seperti halnya kesyahduan memandang ka’bah, kelezatan bergelantungan di Multazam, kekhusyuan shalat atau keasyikan bertawaf.[6]
Kesucian pengalaman nan-Ilahi itu akan menjadi dangkal dengan timbulnya kesadaran bahwa Ka’bah itu hanyalah bangunan batu yang berbentuk kubus dan gantungan di Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Oleh karena itu, tanda-tanda keagungan Tuhan kadang kala dianggap sebagai Tuhan sendiri. Hal inilah yang sering kali menyesatkan manusia untuk memuja dan menyembah kepada selain Allah.
Berbagai pendekatan psikologi modern tampaknya memang belum secara jelas mengungkapkan hubungan manusia dengan agama sebagai bagian dari kehidupan batin manusia yang paling mendalam. Namun, gambaran tentang adanya penghayatan terhadap aspek-aspek spiritual manusia sama sekali tak terhindarkan. Oleh sebab itu, agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sedangkan pengingkaran manusia terhadap agama disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, baik dari kepribadiannya sendiri maupun lingkungannya. Namun, untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit sekali. Karena ternyata manusia memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib. Hal ini merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian disebut pribadi (self) atau hati nurani (conscience of man).[7]
Sebagaiman firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:[8]
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ﴿۳۰﴾
Artinya : “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (itula) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Dari ayat tersebut jelas bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalaupun ada manusia yang tidak beragama tauhid, hal itu wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungannya saja.  
B.  Motivasi Beragama
Motivasi berasal dari bahasa Inggris “motive” dari kata “motion” adalah suatu istilah yang lebih umum digunakan untuk menggantikan tema “motif-motif” yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak sehingga kata motivasi ini erat hubungannya dengan “gerak”, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam psikologi, motivasi ini dapat berarti rangsangan atau dorongan untuk bertingkah laku.[9]
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Pembahasan mengenai agama sebagai salah satu metode psikoterapi, tidak akan terlepas dari kehidupan motivasi beragama. Psikologi sebagai sains tidak mampu menganalisis penyebab yang paling mendasar dari tingkah laku keagamaa, karena analisis psikologis itu terbatas pada fakta empiris. Teori-teori phisiologis, instink, konflik, frustasi baik disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, kematian maupun frustasi moral atau teori psikologi lainnya mengenai penyebab perilaku keagamaan hanya mampu menerangkan motivasi beragama secara fungsional. [10]
Menurut Ramayulis, motivasi memiliki beberapa peran dalam kehidupan manusia, minimal ada empat peran motivasi, yaitu: motivasi berperan sebagai pendorong manusia dalam melakukan sesuatu, moivasi berperan sebagai penentu arah dan tujuan, motivasi berperan sebagai penyeleksi perbuatan yang akan dilakukan oleh manusia, dan motivasi berperan sebagai penguji sikap manusia dalam berbuat, termasuk perbuatan dalam beragama.[11]
Secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) yang berguna, diantaranya untuk terapi mental dan motif ekstrinsik (luar diri) dalam rangka menangkis bahaya negatif arus era global.
1.      Motif Intrinsik[12]
Orang yang tidak merasa tenang, aman, dan tentram dalam hatinya adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya. Para ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan dasra tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan mereka secara lancar. Apabila kebutuhan tersebut tak terpenuhi, manusia akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang dihadapinya. Kemampuan inilah yang kemudian mengembalikannya pada kondisi semula hingga [roses kehidupan berjalan dengan lancar seperti sedia kala.
Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari tak jarang dijumpai bahwa seseorang tak mampu menahan keinginan bagi terpenuhinya kebutuhan dirinya. Dalam kondisi tersebut akan terjadi konflik dalam batin. Dari konflik tersebut akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam kesehatan mental disebut sebagai kekusutan rohani. Kekusutan rohani seperti ini disebut kekusutan fungsional.
Bentuk kekusutan fungsional ini bertingkat, yaitu psychopat, psychoneurose, dan psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa seseorang tak mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat. Pengidap psychoneurose menunjukkan perilaku menyimpang. Adapun penderita psikotis dinilai mengelami kekusutan mental yang berbahaya sehingga memerlukan perawatan khusus.
Usaha penanggulangan kekusutan rohani atau mentaal ini sebenarnya dapat dilakukan dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur seperti bekerja jujur, resignasi, sublimasi, dan kompensasi. Dalam konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian diri hingga terhindar dari konflik batin.
2.      Motif Ekstrinsik[13]
Motif ekstrinsik ini diakibatkan oleh pengaruh era global yang memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Saat itu, manusia dihadapkan kepada peradaban umat manusia. Di sisi lain manusia dihadapkan kepada malapetka sebagai dampak perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi itu sendiri.
Dalam kondisi seperti itu, manusia akan mengalami konflik batin secara besar-besaran. Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara kemampuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan rohani. Kegoncangan batin itulah yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan psikologis manusia. Pada saat itu, kemudian manusia akan mencari penentram batin antara lain agama.
C.  Fungsi  Agama dalam Kehidupan
Menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana” dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu, agama dapat membangkitakan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial.[14]
1.    Agama dalam kehidupan individu[15]
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum, norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang, sehingga tak jarang pada tingkat tertentu seseorang siap untuk mengorbankan hidup mereka demi mempertahankan nilai. Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional, dan gabungan kedua aspek inilah yang menentukan suatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Apabila dalam kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang dominan, maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip. Namun, dalam keadaan tertentu, dapat saja unsur emosional yang lebih berperan, sehingga seseorang larut dalam dorongan rasa.
2.    Agama dalam kehidupan masyarakat[16]
Dalam praktiknya, fungsi agama dalam masyarakat antara lain sebagai berikut:
a.       Edukatif; ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi dan secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang.
b.      Penyelamat; keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi dua alam, yaitu dunia dan akhirat.
c.       Pendamai; melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.
d.      Sosial control; ajaran agama dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok.
e.       Pemupuk rasa solidaritas; para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan, iman, dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perseorangan.
f.       Transformatif; ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
g.      Kreatif; ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain.
h.      Sublimatif; segala usaha manusia, selama tak bertentangan dengan norma-norma agama, apabila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
3.    Agama dalam pembangunan[17]
Peranan agama dalam pembangunan adalah sebagai berikut:
a.       Etos pembangunan; maksudnya adalah agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
b.      Motivasi; ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa megharapkan imbalan yang berlebihan.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman beragama. Yang pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan sebagai pengalaman beragama adalah ilusi belaka. Pandangan yang kedua mengakui eksistensi pengalaman beragama, namun mengatakan bahwa pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman yang bercorak umum. Pandangan ketiga, mempersamakan antara bentuk sejarah agama dengan pengalaman beragama, suatu kebiasaan yang menjadi ciri sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat agama. Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu pengalaman keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan kriteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang manapun.
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Selain itu, agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial
B.  Saran
Setitik harapan dari kami sebagai penyusun kepada semua pihak baik pengoreksi maupun pembaca untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Karena makalah yang kami susun ini masih terlihat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001.
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, CV. Pustaka Setia, 2008.
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Saif Abidurrabby, Mushaf Al-Masar: Al-Qur’an Terjemahan, Kajang Selangor: Masar Enterprise, 2011.





[1] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 127
[2] Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 43
[3] Ibid, hlm. 127
[4] Ibid, hlm. 128
[5] Ibid, hlm. 129
[6] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), hlm. 185
[7] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 152-153
[8] Saif Abidurrabby, Mushaf Al-Masar: Al-Qur’an Terjemahan, (Kajang Selangor: Masar Enterprise, 2011), hlm. 407
[9] Ibid,  hlm. 132
[10] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, hlm. 176
[11] Ibid, hlm. 133
[12] Ibid, hlm. 133-134
[13] Ibid, hlm. 137
[14] Ibid, hlm. 142
[15] Ibid, hlm. 143-144
[16] Ibid, hlm. 149-151
[17] Ibid, hlm. 151-152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar