BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama ialah sistem
norma yang mengatur manusia dengan yang lainnya, sebuah sistem nilai yang
memuat norma-noma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka
acuan dalam bersikap dan bertingkah laku. Pengaruh agama dalam kehidupan
individu memberi kemantaapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa puas,
dalam hali ini agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi juga
merupakan harapan. Dalam hal ini akan dibahas tentang bagaimanakah peran pengalaman
dan motovasi dalam agama serta bagaimanakah fungsinya bagi kehidupan seseorang.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
hakikat pengalaman beragama?
2.
Bagaimana
motivasi dalam beragama?
3.
Apa
saja fungsi agama dalam kehidupan manusia?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengalaman beragama.
2.
Untuk
mengetahui motivasi beragama.
3.
Untuk
mengetahui beberapa fungsi agama dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengalaman Beragama
Psikologi modern tampaknya telah mengungkapkan berbagai pendekatan
mengenai hubungan manusia dengan agama, walaupun pendekatan psikologis yang
digunakan hanya terbatas pada pengalaman empiris saja. Seperti halnya pendapat
Sigmund Freud yang mengatakan bahwa agama sudah dinilai sebagai bagian dari
kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Selain
itu, menurutnya agama juga tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi
dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada
Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari pada agama
karena rasa ketakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala
bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan
agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk
keperluan itu, manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya.[1]
Ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman beragama. Yang
pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan sebagai
pengalaman beragama adalah ilusi belaka. Pandangan ini dikemukakan oleh
kebanyakan ahli psikologi, sosiologi, dan para pemikir filsafat. Pandangan yang
kedua mengakui eksistensi pengalaman beragama, namun mengatakan bahwa
pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman yang
bercorak umum. Dewey, Wieman, Ames, dan para pemikir bangsa Eropa dan Amerika
yang lain adalah pengemuka pendapat ini. Pandangan ketiga, mempersamakan antara
bentuk sejarah agama dengan pengalaman beragama, suatu kebiasaan yang menjadi
ciri sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat
agama. Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu
pengalaman keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan
kriteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang
manapun.[2]
Dalam hal ini, Skinner salah seorang tokoh Behaviorisme, tidak
menyinggung perilaku keagamaan secara khusus. Meskipun ia tampak sama sekali
tidak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya pada kenyataan bahwasanya
agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarkat. Dalam hubungan ini pula,
Skinner melihat agama sebagai isme sosial yang lahir dari adanya faktor
penguat. Menurutnya, kegiatan keagamaan menjadi faktor penguat sebagai perilaku
yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan
yang bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat.
Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut
melestarikannya dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[3]
Sedangkan menurut Abraham Maslow, yang lebih jelas membahas
perilaku keagamaan adalah psikologi humanistik. Psikologi humanistik berusaha
memahami segi esoterik (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan
manusia memiliki tungkatan yaitu dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang
paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar
untuk hidup seperti makan, minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan
akan rasa aman yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas.
Kebutuhan ini dimanifestasikan, antara lain dalam bentuk tempat tinggal yang
permanen. Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara lain berupa
pemenuhan hubungan antarmanusia. Manusia membutuhkan perhatian dan keintiman
dalam pergaulan hidup. Keempat, kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini
dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi diri, antara lain dengan
berbuat sesuatu yang berguna. Pada tahap ini, manusia ingin agar buah
pikirannya dihargai.[4]
Pedekatan berikutnya dikemukakan oleh Victor Frankle pendiri aliran
logo terapi. Menurut Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor,
yakni spirituality (kerohanian), freedom (kebebasan), dan responsibility
(tanggung jawab). Memang, Frankle menggunakan istilah spirituality tidak
dihubungkan dengan keberagamaan, melainkan semata-mata dikaitkan dengan
penghayatan maknawi manusia akibat adanya kemampuan transendensi terhadap
dirinya dan lingkungannya.[5]
Pengalaman beragama ini bisa berupa pengalaman kerohanian. Biasanya
orang yang mengalami hal ini seakan-akan ia menyentuh apa yang berada di luar
duniawi. Pengalaman beragama yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan dan
sifat-sifat-Nya. Akan tetapi, karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia maka
seringkali pengalaman yang suci bercampur dengan hal-hal yang bersifat duniawi
sehingga kesuciannya menjadi dangkal. Contoh pengalaman beragama yang suci yaitu
seperti halnya kesyahduan memandang ka’bah, kelezatan bergelantungan di
Multazam, kekhusyuan shalat atau keasyikan bertawaf.[6]
Kesucian pengalaman nan-Ilahi itu akan menjadi dangkal dengan
timbulnya kesadaran bahwa Ka’bah itu hanyalah bangunan batu yang berbentuk
kubus dan gantungan di Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Oleh karena
itu, tanda-tanda keagungan Tuhan kadang kala dianggap sebagai Tuhan sendiri.
Hal inilah yang sering kali menyesatkan manusia untuk memuja dan menyembah
kepada selain Allah.
Berbagai pendekatan psikologi modern tampaknya memang belum secara
jelas mengungkapkan hubungan manusia dengan agama sebagai bagian dari kehidupan
batin manusia yang paling mendalam. Namun, gambaran tentang adanya penghayatan
terhadap aspek-aspek spiritual manusia sama sekali tak terhindarkan. Oleh sebab
itu, agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sedangkan
pengingkaran manusia terhadap agama disebabkan oleh faktor-faktor tertentu,
baik dari kepribadiannya sendiri maupun lingkungannya. Namun, untuk menutupi
atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit sekali.
Karena ternyata manusia memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk
tunduk kepada Zat yang gaib. Hal ini merupakan bagian dari faktor intern manusia
yang dalam psikologi kepribadian disebut pribadi (self) atau hati nurani
(conscience of man).[7]
Sebagaiman firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:[8]
فَاَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ﴿۳۰﴾
Artinya
: “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah (itula) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Dari ayat tersebut jelas bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan
Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid.
Kalaupun ada manusia yang tidak beragama tauhid, hal itu wajar. Mereka tidak
beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungannya saja.
B.
Motivasi Beragama
Motivasi berasal dari bahasa Inggris “motive” dari kata “motion”
adalah suatu istilah yang lebih umum digunakan untuk menggantikan tema
“motif-motif” yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak sehingga kata
motivasi ini erat hubungannya dengan “gerak”, yakni gerakan yang dilakukan oleh
manusia. Dalam psikologi, motivasi ini dapat berarti rangsangan atau dorongan
untuk bertingkah laku.[9]
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong
maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis
serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Pembahasan mengenai
agama sebagai salah satu metode psikoterapi, tidak akan terlepas dari kehidupan
motivasi beragama. Psikologi sebagai sains tidak mampu menganalisis penyebab
yang paling mendasar dari tingkah laku keagamaa, karena analisis psikologis itu
terbatas pada fakta empiris. Teori-teori phisiologis, instink, konflik,
frustasi baik disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, kematian maupun
frustasi moral atau teori psikologi lainnya mengenai penyebab perilaku
keagamaan hanya mampu menerangkan motivasi beragama secara fungsional. [10]
Menurut Ramayulis, motivasi memiliki beberapa peran dalam kehidupan
manusia, minimal ada empat peran motivasi, yaitu: motivasi berperan sebagai
pendorong manusia dalam melakukan sesuatu, moivasi berperan sebagai penentu
arah dan tujuan, motivasi berperan sebagai penyeleksi perbuatan yang akan
dilakukan oleh manusia, dan motivasi berperan sebagai penguji sikap manusia
dalam berbuat, termasuk perbuatan dalam beragama.[11]
Secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik
(dalam diri) yang berguna, diantaranya untuk terapi mental dan motif ekstrinsik
(luar diri) dalam rangka menangkis bahaya negatif arus era global.
1.
Motif
Intrinsik[12]
Orang
yang tidak merasa tenang, aman, dan tentram dalam hatinya adalah orang yang
sakit rohani atau mentalnya. Para ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia
mempunyai kebutuhan dasra tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses
kehidupan mereka secara lancar. Apabila kebutuhan tersebut tak terpenuhi,
manusia akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang
dihadapinya. Kemampuan inilah yang kemudian mengembalikannya pada kondisi
semula hingga [roses kehidupan berjalan dengan lancar seperti sedia kala.
Akan
tetapi, dalam kehidupan sehari-hari tak jarang dijumpai bahwa seseorang tak
mampu menahan keinginan bagi terpenuhinya kebutuhan dirinya. Dalam kondisi
tersebut akan terjadi konflik dalam batin. Dari konflik tersebut akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam kesehatan
mental disebut sebagai kekusutan rohani. Kekusutan rohani seperti ini disebut
kekusutan fungsional.
Bentuk
kekusutan fungsional ini bertingkat, yaitu psychopat, psychoneurose, dan
psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa seseorang tak mengikuti
tuntutan-tuntutan masyarakat. Pengidap psychoneurose menunjukkan
perilaku menyimpang. Adapun penderita psikotis dinilai mengelami kekusutan
mental yang berbahaya sehingga memerlukan perawatan khusus.
Usaha
penanggulangan kekusutan rohani atau mentaal ini sebenarnya dapat dilakukan
dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur seperti
bekerja jujur, resignasi, sublimasi, dan kompensasi. Dalam konteks ini terlihat
hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab nilai-nilai luhur termuat
dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan
pengendalian diri hingga terhindar dari konflik batin.
2.
Motif
Ekstrinsik[13]
Motif
ekstrinsik ini diakibatkan oleh pengaruh era global yang memberikan perubahan besar
pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai
suatu perubahan yang wajar. Saat itu, manusia dihadapkan kepada peradaban umat
manusia. Di sisi lain manusia dihadapkan kepada malapetka sebagai dampak
perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi itu sendiri.
Dalam
kondisi seperti itu, manusia akan mengalami konflik batin secara besar-besaran.
Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara kemampuan iptek
yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan rohani. Kegoncangan batin
itulah yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan psikologis manusia. Pada saat
itu, kemudian manusia akan mencari penentram batin antara lain agama.
C.
Fungsi Agama dalam Kehidupan
Menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang
begitu sering “terdapat dimana-mana” dan agama berkaitan dengan usaha-usaha
manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan
keberadaan alam semesta. Selain itu, agama dapat membangkitakan kebahagiaan
batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun
perhatian tertuju kepada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat),
namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di
dunia, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial.[14]
1.
Agama
dalam kehidupan individu[15]
Agama
dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat
norma-norma tertentu. Secara umum, norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan
dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang
dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan
individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
Nilai
adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada
tindakan seseorang, sehingga tak jarang pada tingkat tertentu seseorang siap
untuk mengorbankan hidup mereka demi mempertahankan nilai. Nilai mempunyai dua
segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional, dan gabungan kedua aspek
inilah yang menentukan suatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Apabila
dalam kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang
dominan, maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip. Namun, dalam
keadaan tertentu, dapat saja unsur emosional yang lebih berperan, sehingga
seseorang larut dalam dorongan rasa.
2.
Agama
dalam kehidupan masyarakat[16]
Dalam
praktiknya, fungsi agama dalam masyarakat antara lain sebagai berikut:
a.
Edukatif;
ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi dan secara yuridis
berfungsi menyuruh dan melarang.
b.
Penyelamat;
keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi dua alam, yaitu dunia dan
akhirat.
c.
Pendamai;
melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian
batin melalui tuntunan agama.
d.
Sosial
control; ajaran agama dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama
berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok.
e.
Pemupuk
rasa solidaritas; para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa
memiliki kesamaan dalam satu kesatuan, iman, dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini
akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perseorangan.
f.
Transformatif;
ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok
menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
g.
Kreatif;
ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif
bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan
orang lain.
h.
Sublimatif;
segala usaha manusia, selama tak bertentangan dengan norma-norma agama, apabila
dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
3.
Agama
dalam pembangunan[17]
Peranan
agama dalam pembangunan adalah sebagai berikut:
a.
Etos
pembangunan; maksudnya adalah agama yang menjadi anutan seseorang atau
masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu
tatanan nilai moral dalam sikap.
b.
Motivasi;
ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang
atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan
ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu
kehidupan tanpa megharapkan imbalan yang berlebihan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada empat
macam pendapat mengenai hakikat pengalaman beragama. Yang pertama, menyangkal
adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan sebagai pengalaman beragama
adalah ilusi belaka. Pandangan yang kedua mengakui eksistensi pengalaman beragama,
namun mengatakan bahwa pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama
dengan pengalaman yang bercorak umum. Pandangan ketiga, mempersamakan antara
bentuk sejarah agama dengan pengalaman beragama, suatu kebiasaan yang menjadi
ciri sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat
agama. Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu
pengalaman keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan
kriteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang
manapun.
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong
maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis
serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Selain itu, agama melibatkan
dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia, baik kehidupan
individu maupun kehidupan sosial
B.
Saran
Setitik harapan dari kami sebagai penyusun kepada semua pihak baik
pengoreksi maupun pembaca untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Karena
makalah yang kami susun ini masih terlihat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk memperbaiki
kekurangan yang ada dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2001.
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, CV. Pustaka Setia,
2008.
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Saif Abidurrabby, Mushaf Al-Masar: Al-Qur’an Terjemahan, Kajang
Selangor: Masar Enterprise, 2011.
[1] Bambang Syamsul
Arifin, Psikologi Agama, (CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 127
[2] Joachim Wach, Ilmu
Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 43
[3] Ibid, hlm. 127
[4] Ibid, hlm. 128
[5] Ibid, hlm. 129
[6] Abdul Aziz
Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), hlm. 185
[7] Jalaluddin, Psikologi
Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 152-153
[8] Saif
Abidurrabby, Mushaf Al-Masar: Al-Qur’an Terjemahan, (Kajang Selangor:
Masar Enterprise, 2011), hlm. 407
[9] Ibid, hlm. 132
[10] Abdul Aziz
Ahyadi, Psikologi Agama, hlm. 176
[11] Ibid, hlm. 133
[12] Ibid, hlm.
133-134
[13] Ibid, hlm. 137
[14] Ibid, hlm. 142
[15] Ibid, hlm.
143-144
[16] Ibid, hlm.
149-151
[17] Ibid, hlm.
151-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar