BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum membicarakan sistem dakwah
terlebih dahulu dijelaskan pengertian sistem. Nasaruddin memberikan definisi
bahwa system itu sebagai berikut: Sistem (system) secara bahasa adalah suatu kelompok unsur-unsur
yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. Maksud sistem adalah
suatu rangkaian kegiatan yang sambung-menyambung saling berkaitan.
Dari pengertian sistem di atas sekarang
jika dikaitkan dengan sistem Islam dan sistem dakwah Islam adalah merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu
Ilahi yang antara isi-isi wahyu itu sangat terkait dengan satu lainya.
Al-Qur’an merupakan sistem wahyu yang ayat-ayatnya tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari ayat-ayat lainya. Demikian hadits sebagai sumber kedua setelah
al-Qur’an. Kalau kita membagi isi pokok ajaran Islam menjadi keimanan, syari’ah
dan muamalah, maka ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Maka
aspek-aspek Islam secara keseluruhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Islam adalah suprasistem dari dakwah. Ini berarti bahwa Islam merupakan sistem
yang lebih komplek atau yang lebih luas di mana di dalamnya terdapat komponen dakwah sebagai suatu sistem.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sistem dakwah?
2.
Apa
saja unsur-unsur dalam dakwah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sistem dakwah
2.
Untuk
memahami berbagai unsur-unsur dalam dakwah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem Dakwah
Sebelum melangkah terlalu jauh mengenai sistem dakwah, maka
terlebih dahulu kita perlu mengetahui pengertian sistem. Menurut Nasaruddin
Razak sebagaimana dikutip oleh Moh. Ali Aziz yang menyatakan bahwa sistem
(system) menurut arti logat adalah suatu kelompok unsur-unsur yang saling berhubungan
membentuk suatu kesatuan kolektif. (a group of interrelated elements forming a
collective entity). Maksud sistem adalah suatu rangkaian kegiatan yang
sambung-menyambung saling berkaitan menjelmakan urutan. Maksud sistem ialah
suatu rangkaian kegiatan yang sambung-menyambung saling berkaitan menjelmakan
urutan yang logis dan tetap terikat pada ikatan hubungan pada kegiatan
masing-masing dalam rangkaian secara menyeluruh.[1]
Selain itu, Iskandar Wiryakusumo mendefinisikan sistem sebagai:
Suatu organisasi dari kumpulan komponen yang berhubungan satu sama lain. Yang
kemudian beliau membagi sistem menjadi dua bagian:
1.
Suprasistem,
yaitu sistem yang lebih kompleks atau lebih besar dengan terdiri dari banyak
komponen.
2.
Subsistem,
yaitu sistem yang lebih kecil yang mungkin merupakan bagian sistem.[2]
Dari pengertian sistem di atas, jika dikaitkan dengan sistem Islam
dan sistem dakwah Islam maka merupakan suatu ajaran yang bersumber dari wahyu
Ilahi yang diantara isi-isi wahyu itu sangat terkait antara satu dengan
lainnya. Seperti halnya Al-Qur’an yang
merupakan sistem wahyu dan ayat-ayatnya pun tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari ayat-ayat yang lain. Begitu juga dengan hadits yang dijadikan sebagai
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.[3]
Secara makro, dakwah juga dapat dipandang sebagai sistem dari
Suprasistem yang berupa sosio-kultural dalam arti yang luas. “Sitem dakwah
dapat dipandang secara makro dan mikro. Secara makro, sistem dakwah merupakan
sub sistem sosio-kultural dalam arti luas, sehingga analisa terhadapnya tidak
dapat dilepaskan dengan subsistem ideologi, politik, pendidikan, ekonomi, ilmu
teknologi dan budaya dalam arti sempit. Secara mikro dakwah Islam merupakan
sistem yang berdiri sendiri sehingga analisa terhadapnya berdasarkan analisa
faktor komponen yang membentuk sistem.”[4]
Sistem dakwah terbentuk dari beberapa subsistem yang merupakan
komponen-komponen yang lebih kecil dan merupakan bagian dari sistem dakwah.
Beberapa subsistem yang merupakan komponen dakwah tersebut tidak lain adalah
unsur-unsur dakwah itu sendiri, yaitu da’i, mad’u (obyek dakwah), maddah
(materi dakwah), wasilah (media), metode (thariqah), dan atsar (efek dakwah).
Keseluruhan dari subsistem dakwah ini merupakan satu kesatuan yang sangat
terkait satu dengan yang lain. Jika satu subsistem saja terlepaskandari sistem
dakwah maka target pencapaian cita-cita dakwah menjadi terganggu.[5]
Dalam sistem selalu terdapat input, output dan proses.
Ketiganya harus selalu terkait dengan sambung-menyambung terus-menerus sehingga
merupakan suatu proses yang tidak berhenti pada satu titik.
Input : da’i sebagai
sumber informasi atau sebagai komunikator
Output : cita-cita
dakwah yang merupakan cita-cita jangka panjang
Proses : pelaksana
dakwah
Feedback : proses umpan
balik dari mitra dakwah setelah proses dakwah, yang kemudian diikuti
proses evaluasi secara cermat dan tindakan korektif, untuk selanjutnya
berproses secara menyeluruh tetapi saling berkaitan dan sambung-menyambung dan
akhirnya pada garis final yang merupakan cita-cita dakwah (output).[6]
Menurut Amrullah Ahmad pada umumnya sistem terdiri dari lima
komponen dasar, yaitu input (masukan), convertion (proses
pengubahan), output (keluaran), feedback (umpan balik), dan environment
(lingkungan). Lebih rinci lagi beliau mengatakan bahwa:[7]
1.
Komponen
input terdiri dari:
a.
Rew input
b.
Instrumental input
c.
Environmental input
Kesemuanya itu berfungsi memberikan informasi, energi, dan materi
yang menentukan sistem.
2.
Komponen
konversi yang berfungsi mengubah input menjadi output merealisir ajaran Islam
menjadi realitas sosio-kultural yang diproses dalam kegiatan administrasidakwah
(organisasi manajemen, kepemimpinan, komunikasi dakwah, dan sebagainya).
3.
Komponen
output yang merupakan hasil dakwah, yaitu terciptanya realitas baru menurut
ukuran tujuan ideal dan tujuan dari sistem yang bersumber dari al-Qur’an dan
hadits.
4.
Komponen
feedback yang berfungsi memberikan pengaruh baik yang positif maupun yang
negatif terhadap sistem dakwah khususnya, dan realitas sosio-kultural pada
umumnya.
5.
Komponen
lingkungan yang berfungsi sebagai kenyataan yang hendak diubah atau memberikan
pengaruh terhadap sistem dakwah terutama memberikan masukan permasalahan yang
perlu dipecahkan yang menyangkut segala segi kehidupan.
Sistem dapat dibagi menjadi sistem terbuka yaitu sistem yang
menerima input dari luar dan mengeluarkan output keluar sistem dan sebaliknya
ada sistem tertutup. Dengan artian, sistem dakwah dapat disebut sebagai sistem
input menjadi output adalah bahwa sistem dakwah dibentuk oleh komponen-komponen
yang mentransformasikan input menjadi output (realitas Islam). Faktor kualitas
da’i dalam proses pengubahan ini sangat menentukan, dan terakhir adalah faktor
hidayah dari Allah SWT. Proses interelasi dan interaksi komponen dipandang
sebagai fungsi yang menghubungkan input dan output sistem. Kemudian yang
dimaksud dengan dakwah sebagai sistem terbuka artinya sistem dakwah dipengaruhi
oleh lingkungan sosio-kultural. Sedangkan sistem dakwah sebagai sistem feedback
artinya sistem dakwah dipengaruhi oleh umpan balik yang datang dari sistem itu
sendiri. Meskipun umpan balik itu tidak langsung tetapi output sistem yang
diberikan kepada lingkungan akan memengaruhi kondisi lingkungan dengan kadar
apa pun.[8]
B.
Unsur-unsur Dakwah
Sebelum kita membahas apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam
dakwah, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu makna unsur-unsur
dakwah. Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang selalu ada dalam
setiap kajian dakwah. Unsur-unsur itu antara lain adalah da’i (subyek dakwah),
mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media dakwah), thariqah
(metode), dan atsar (efek dakwah).[9]
1.
Da’i
(subyek Dakwah)
Subjek
dakwah adalah pelaku dakwah. Faktor subjek dakwah sangat menentukan keberhasilan
aktivitas dakwah. Maka subjek dakwah dalam hal ini da’i atau lembaga dakwah
hendaklah mampu menjadi penggerak dakwah yang profesional. Baik gerakan dakwah
yang dilakukan oleh individual maupun kolektif, profesionalisme amat
dibutuhkan, termasuk profesionalisme lembaga-lembaga dakwah.[10]
Da’i
juga sering disebut sebagai “Muballigh” yang berarti orang yang menyampaikan
ajaran Islam. Da’i merupakan unsur dakwah yang paling penting, karena tanpa
da’i Islam hanya sekedar ideologi saja dan tidak bisa terwujud dalam kehidupan
masyarakat. Jadi, sebaik apa pun ideologi Islam yang harus disebarkan di
masyarakat tidak pernah terwujud tanpa adanya manusia yang akan menyebarkannya.[11]
Di
dalam al-Qur’an disebutkan bahwa ada dua sifat yang harus dimiki oleh seorang da’i
yaitu:[12]
a.
Perintah
agar da’i istiqomah, tidak memperturutkan hawa nafsu, menjelaskan tentang
ketegarannya dalam iman, berbuat adil, dan berusaha berdakwah sampai pada
non-Muslim. Allah berfirman:
فَلِذٰلِكَ
فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَاۤ أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاۤءَهُمْ وَقُلْ أٰمَنْتُ
بِمَاۤ أَنْزَلَ اللهُ مِنْ كِتَابٍ وَّاُمِرْتُ لِاَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللهُ
رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ....﴿۱۵﴾
Artinya:
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allahlah Tuhan kami dan
Tuhanmu.... (QS. Asy-Syura: 15)
b.
Bertawakal
dalam dakwah dari meyakini kebenaran dakwah yang disampaikan. Allah berfirman:
فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللهِ اِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ ﴿۷۹﴾ اِنَّكَ لَا تُسْمِعُ
الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءِ اِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ﴿۸٠﴾
Artinya
: “Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas
kebenaran yang nyata.....” (QS. An-Naml: 79-80)
Sementara itu, untuk mewujudkan seorang da’i yang profesional yang
mampu memecahkan kondisi mad’unya sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang dihadapi
oleh objek dakwah, ada beberapa kriteria. Adapun sifat-sifat penting yang harus
dimiliki oleh seorang da’i secara umum, yaitu:[13]
a.
Mendalami
al-Qur’an dan Sunnah dan sejarah kehidupan Rasul serta, khulafaurrasyidin.
b.
Memahami keadaan masyarakat yang akan
dihadapi.
c.
Berani
dalam mengungkapkan kebenaran kapan pun dan dimana pun.
d.
Ikhlas
dalam melaksanakan tugas dakwah tanpa tergiur oleh nikmat materi yang hanya
sementara.
e.
Satu
kata dengan perbuatan.
f.
Terjauh
dari hal-hal yang menjatuhkan harga diri.
Abul A’la Al Maududi dalam bukunya “Tadzakiratud Du’atil Islam”
mengatakan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki da’i secara perorangan dapat
disimpulkan sebagai berikut:[14]
1.
Sanggup
memerangi musuh dalam dirinya sendiri yaitu hawa nafsu untuk taat sepenuhnya
kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum memerangi hawa nafsu orang lain.
2.
Sanggup
berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan dirinya dihadapan
Allah dan dihadapan masyarakat.
3.
Mampu
menjadi hasanah dengan budi dan akhlaknya bagi masyarakat yang menjadi mad’unya.
4.
Memiliki
persiapan mental yang terdiri dari:
a.
Sabar,
yang meliputi sifat-sifat teliti, tekad yang kuat, tidak bersikap pesimis dan
putus asa, kuat pendirianserta selalu memelihara keseimbangan akal dan emosi.
b.
Senang
memberi pertolongan kepada orang dan bersedia berkorban, mengorbankan waktu,
tenaga, pikiran dan harta serta kepentingan yang lain.
c.
Cinta
dan memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan.
d.
Menyediakan
diri untuk bekerja yang terus menerus secara teratur dan berkesinambungan.
2.
Mad’u
(mitra dakwah)
Unsur dakwah yang kedua adalah mad’u yaitu manusia yang menjadi
sasarn dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun
kelompok, baik Islam atau agama lainnya.[15]
Jika dakwah yang ditujukan kepada manusia yang belum beragama Islam,
maka bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama Islam; sedangkan
kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan
kualitas iman, Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat
disebut dengan mitra dakwah dari pada sebutan objek dakwah, sebab
sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal
sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan yang menjadikan orang lain sebagai
kawan berpikir tentang keimanan, syari’ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan
dihayati dan diamalkan bersama-sama.[16]
Mad’u terdiri dari
berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad’u sama
dengan menggolongkan manusia itu sendiri. Mad’u bisa di bagi-bagi berdasarkan
agama, status sosial, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad’u
tersebut antara lain sebagai berikut:[17]
1.
Dari
segi sosiologis, ada masyarakat terasing, pedesaan, kota besar, dan kota kecil,
serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
2.
Dari
segi struktur kelembagaan, ada masyarakat pemerintah dan keluarga.
3.
Dari
segi sosial-kultural, ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada
masyarakat Jawa.
4.
Dari
segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan golongan orang tua.
5.
Dari
segi profesi, ada golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri.
6.
Dari
segi tingkatan hidup sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah dan miskin.
7.
Dari
segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita.
8.
Dari
segi khusus, ada masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana,
dan sebagainya.
Mad’u juga bisa dilihat dari derajat pemikirannya sebagai berikut:[18]
a.
Umat
yang berpikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu
berpikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan padanya.
b.
Umat
yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru
(suggestible) tanpa menimbang-nimbang secara mantap apa yang dikemukakan
kepadanya.
c.
Umat
bertaklid, yaitu golongan yang fanatik, buta berpegang pada tradisi, dan
kebiasaan turun-temurun tempat menyelidiki salah satu benarnya.
Selain itu, seorang da’i dalam aktivitas dakwahnya hendaklah
memahami karakter dan siapa yang akan diajak bicara atau siapa yang akan
menerima pesan-pesan dakwahnya. Kemudian, seorang da’i juga perlu mengetahui
klasifikasi dan karakter objek dakwah. Hal ini dianggap penting sekali agar
pesan-pesan dakwah bisa diterima dengan baik oleh mad’u. Dengan demikian,
seorang da’i akan lebih terarah dalam menyampaikan materinya dan mad’u akan
dengan mudah menerima pesan-pesan dakwah yang disampaikan oleh subjek dakwah,
karena baik materi, metode, maupun media yang digunakan dalam berdakwah tepat
sesuai dengan kondisi mad’u sebagai objek dakwah.[19]
3.
Maddah
(materi dakwah)
Unsur lain yang selalu ada dalam proses dakwah maddah atau materi
dakwah. Maddah dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang disampaikan
da’i pada mad’u. Dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah dakwah
adalah bidang akidah, syari’ah (ibadah dan mu’amalah) dan Akhlak. Kesemuanya
itu bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, ijtihad ulama’, sejarah peradaban Islam.[20] Akan
tetapi, ajaran Islam yang dijadikan maddah dakwah itu pada garis besarnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:[21]
1.
Akidah
yang meliputi:
a.
Iman
kepada Allah
b.
Iman
kepada Malaikat-Nya
c.
Iman
kepada Kitab-kitab-Nya
d.
Iman
kepada Rasul-rasul-Nya
e.
Iman
kepada hari akhir
f.
Iman
kepada qadha-qadhar
2.
Syari’ah
a.
Ibadah
(dalam arti khusus):
· Thaharah
· Sholat
· Zakat
· Shaum
· Haji
b.
Mua’amalah
(dalam arti luas) meliputi:
1.
Al-Qanunul
Khas (hukum perdata);
· Muamalah (hukum niaga)
· Munakahat (hukum nikah)
· Waratsah (hukum waris)
· Dan lain sebagainya.
2.
Al-Qanunul
‘Am (hukum publik);
· Hinayah (hukum pidana)
· Khilafah (hukum negara)
· Jihad (hukum perang dan damai)
· Dan lain-lain
3.
Akhlaq,
yaitu meliputi:
a.
Akhlaq
terhadap khaliq
b.
Akhlaq
terhadap makhluk, yang meliputi:
· Akhlaq terhadap manusia
a.
Diri
sendiri
b.
Tetangga
c.
Masyarakat
Lainnya
· Akhlaq terhadap bukan manusia
a.
Flora
b.
Fauna
c.
Dan
lain sebagainya.
4.
Wasilah
(media dakwah)
Media dakwah sarana yang digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan
dakwah. Disebutkan oleh Deddy Mulyana bahwa media bisa merujuk pada alat maupun
bentuk pesan, baik verbal maupun nonverbal, seperti cahaya dan suara. Saluran
juga bisa merujuk pada cara penyajian, seperti tatap muka (langsung) atau lewat
media, seperti surat kabar, majalah, radio, telepon dan televisi. Sering pula
disebut bahwa apa yang dikategorikan sebagai media juga disebut sebgai cara
atau metode. Cara dakwah dengan menerangkan maupun menginformasikan, terutama
menginformasikan lewat lisan mislanya, sering disebut dakwah bil-al-lisan,
karena menginformasikan dan menerangkannya dengan lisan. Jadi, terkadang
penggunaan istilah memiliki konotasi sesuai maksud penggunanya, terutama
istilah-istilah yang memiliki makna samar dan beragam.[22]
5.
Thariqah
(metode dakwah)
Hal yang sangat erat kaitannya dengan Wasilah dakwah adalah
Thariqah (metode) dakwah. Kalau Wasilah itu merupakan alat-alat yang dipakai
untuk menyampaikan ajaran Islam, maka Thariqah adalah metode atau cara-cara
yang digunakan dalam berdakwah. Namun, sebelum kita membahas metode dakwah
alangkah baiknya jika kita mengetahui makna metode itu sendiri. Kata “metode”
berasal dari bahasa Latin “metthodos” yang berarti cara. Sedangkan dalam bahasa
Yunani, “methodos” berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa Inggris
“method” diterjemahkan dengan metode atau cara.[23]
Dengan demikian, secara singkat dapat ditegaskan bahwa metode adalah suatu
kerangka kerja dan dasar-dasar pemikiran untuk mendapatkan cara-cara yang
sesuai dan tepat untuk mencapai suatu tujuan.
Banyak metode dakwah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits,
akan tetapi pedoman pokok dari keseluruhan metode tersebut adalah firman Allah
Surat An-Nahl ayat 125
اُدْعُ
اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِى هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ﴿۱۲۵ ﴾
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu, dengan hikmah, dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Dari ayat di atas secara garis besar ada tiga pokok metode
(Thariqah) dakwah yaitu :[24]
1.
Hikmah
yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan
menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan
ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau
keberatan.
2.
Mauidhah
Hasanah yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaiakn
ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihat dan ajaran
Islam yang disampaikan dapat menyentuh
hati mereka.
3.
Mujadalah
yaitu berdakwah dengan cara betukar pikiran atau membantah dengan cara yang
sebaik-baiknyan dengan tidak memberikan
tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjelekkan orang yang menjadi sasaran
dakwahnya.
6.
Atsar
(efek dakwah)
Atsar sering disebut dengan feedback (umpan balik) dari proses
dakwah. Hal ini bahkan sering kali dilupakan oleh da’i. Padahal, atsar sangat
besar artinya dalam menentukan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa
menganalisis atsar dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat
merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Adapun hal-hal perlu
dievaluasi sebagai upaya mencapai tujuan dakwah yaitu ada tiga antara lain:[25]
a.
Efek
kognitif
Setelah menerima pesan dakwah, mad’u akan menyerap isi dakwah
tersebut melalui proses berpikir, dan efek kognitif ini bisa terjadi apabila
ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dan dimengerti oleh mad’u
tentang isi pesan yang diterimanya. Jadi dengan menerima pesan melalui kegiatan
dakwah, diharapkan akan mengubah cara berpikir seseorang tentang ajaran agama
sesuai dengan pemahaman yang sebenarnya. Seseorang dapat paham atau mengerti
setelah melalui proses berpikir. Dalam berpikir seseorang mengolah,
mengorganisasikan bagian-bagian dari pengetahuan dan pengalaman yang tidak
teratur dapat tersusun rapi dan merupakan kebutulatan yang dapat dikuasai dan
dipahami. Aspek kognitif ini amat menentukan aspek-aspek perubahan berikutnya.
b.
Efek
afektif
Efek ini adalah pengaruh dakwah berupa perubahan sikap mad’u
setelah menerima pesan. Sikap sama dengan proses belajar dengan tiga variabel
sebagai penunjangnya, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan. Pada tahap
ini pula penerima dakwah dengan pengertian dan pemikirannya terhadap pesan
dakwah yang telah diterimanya akan membuat keputusan untuk menerima atau
menolak pesan dakwah.
c.
Efek
behavioral
Efek ini merupakan suatu bentuk efek dakwah yang berkenaan dengan
pola tingkah laku mad’u dalam merealisasikan materi dakwah yang telah diterima
dalam kehidupan sehari-hari. Efek ini muncul setelah melalui proses kognitif
dan afektif. Jadi, perbuatan atau perilaku seseorang itu pada hakikatnya adalah
perwujudan dari perasaan dan pikirannya. Adapun dalam hal ini perilaku yang
diharapkan adalah perilaku yang sesuai dengan pesan dakwah, yakni perilaku
positif sesuai dengan ajaran Islam baik bagi individu ataupun masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem Islam dan sistem
dakwah Islam maka merupakan suatu ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi yang
diantara isi-isi wahyu itu sangat terkait antara satu dengan lainnya. Seperti
halnya Al-Qur’an yang merupakan sistem
wahyu dan ayat-ayatnya pun tidak bisa dilepaskan begitu saja dari ayat-ayat
yang lain. Begitu juga dengan hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an.
Beberapa subsistem yang merupakan komponen dakwah tersebut tidak
lain adalah unsur-unsur dakwah itu sendiri, yaitu da’i, mad’u (obyek dakwah),
maddah (materi dakwah), wasilah (media), metode (thariqah), dan atsar (efek
dakwah). Keseluruhan dari subsistem dakwah ini merupakan satu kesatuan yang
sangat terkait satu dengan yang lain. Jika satu subsistem saja terlepaskandari
sistem dakwah maka target pencapaian cita-cita dakwah menjadi terganggu.
B.
Saran
Setitik harapan dari kami sebagai penyusun kepada semua pihak baik
pengoreksi maupun pembaca untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Karena
makalah yang kami susun ini masih terlihat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk memperbaiki
kekurangan yang ada dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, Jakarta :
Rajawali Pers, 2011.
Moh.
Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta : Kencana, 2004.
Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, Pamekasan: STAIN Pmk
Press, 2000.
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta : Amzah, 2009.
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
[1] Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah, (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 71
[2] Ibid, hlm. 71
[3] Ibid, hlm. 72
[4] Mohammad
Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, (Pamekasan: STAIN Pmk Press, 2000), hlm. 33
[5] Ibid, hlm. 73
[6] Ibid, hlm. 73
[7] Ibid, hlm. 74
[8] Ibid, hlm. 75
[9] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 38
[10] Samsul Munir
Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 13
[11] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 38
[12] Ibid, hlm. 80
[13] Ibid, hlm. 81
[14] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 38
[15] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 45
[16] Ibid, hlm. 90
[17] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 46
[18] Ibid, hlm. 92
[19] Samsul Munir
Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 15
[21] Ibid, hlm. 94
[22] Acep Aripudin, Pengembangan
Metode Dakwah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hlm. 13
[23] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 56
[24] Mohammad Hasan,
Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 57
[25] Ibid, hlm.
139-143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar