Rabu, 01 Juni 2016

makalah tentang sistem dan unsur-unsur dakwah



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebelum membicarakan sistem dakwah terlebih dahulu dijelaskan pengertian sistem. Nasaruddin memberikan definisi bahwa system itu sebagai berikut: Sistem (system) secara bahasa adalah suatu kelompok unsur-unsur yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. Maksud sistem adalah suatu rangkaian kegiatan yang sambung-menyambung saling berkaitan.
Dari pengertian sistem di atas sekarang jika dikaitkan dengan sistem Islam dan sistem dakwah Islam adalah merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi yang antara isi-isi wahyu itu sangat terkait dengan satu lainya. Al-Qur’an merupakan sistem wahyu yang ayat-ayatnya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ayat-ayat lainya. Demikian hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Kalau kita membagi isi pokok ajaran Islam menjadi keimanan, syari’ah dan muamalah, maka ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Maka aspek-aspek Islam secara keseluruhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam adalah suprasistem dari dakwah. Ini berarti bahwa Islam merupakan sistem yang lebih komplek atau yang lebih luas di mana di dalamnya terdapat komponen dakwah sebagai suatu sistem.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana sistem dakwah?
2.      Apa saja unsur-unsur dalam dakwah?
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui sistem dakwah
2.      Untuk memahami berbagai unsur-unsur dalam dakwah



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Sistem Dakwah
Sebelum melangkah terlalu jauh mengenai sistem dakwah, maka terlebih dahulu kita perlu mengetahui pengertian sistem. Menurut Nasaruddin Razak sebagaimana dikutip oleh Moh. Ali Aziz yang menyatakan bahwa sistem (system) menurut arti logat adalah suatu kelompok unsur-unsur yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. (a group of interrelated elements forming a collective entity). Maksud sistem adalah suatu rangkaian kegiatan yang sambung-menyambung saling berkaitan menjelmakan urutan. Maksud sistem ialah suatu rangkaian kegiatan yang sambung-menyambung saling berkaitan menjelmakan urutan yang logis dan tetap terikat pada ikatan hubungan pada kegiatan masing-masing dalam rangkaian secara menyeluruh.[1]
Selain itu, Iskandar Wiryakusumo mendefinisikan sistem sebagai: Suatu organisasi dari kumpulan komponen yang berhubungan satu sama lain. Yang kemudian beliau membagi sistem menjadi dua bagian:
1.    Suprasistem, yaitu sistem yang lebih kompleks atau lebih besar dengan terdiri dari banyak komponen.
2.    Subsistem, yaitu sistem yang lebih kecil yang mungkin merupakan bagian sistem.[2]
Dari pengertian sistem di atas, jika dikaitkan dengan sistem Islam dan sistem dakwah Islam maka merupakan suatu ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi yang diantara isi-isi wahyu itu sangat terkait antara satu dengan lainnya. Seperti halnya Al-Qur’an  yang merupakan sistem wahyu dan ayat-ayatnya pun tidak bisa dilepaskan begitu saja dari ayat-ayat yang lain. Begitu juga dengan hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.[3]
Secara makro, dakwah juga dapat dipandang sebagai sistem dari Suprasistem yang berupa sosio-kultural dalam arti yang luas. “Sitem dakwah dapat dipandang secara makro dan mikro. Secara makro, sistem dakwah merupakan sub sistem sosio-kultural dalam arti luas, sehingga analisa terhadapnya tidak dapat dilepaskan dengan subsistem ideologi, politik, pendidikan, ekonomi, ilmu teknologi dan budaya dalam arti sempit. Secara mikro dakwah Islam merupakan sistem yang berdiri sendiri sehingga analisa terhadapnya berdasarkan analisa faktor komponen yang membentuk sistem.”[4]
Sistem dakwah terbentuk dari beberapa subsistem yang merupakan komponen-komponen yang lebih kecil dan merupakan bagian dari sistem dakwah. Beberapa subsistem yang merupakan komponen dakwah tersebut tidak lain adalah unsur-unsur dakwah itu sendiri, yaitu da’i, mad’u (obyek dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media), metode (thariqah), dan atsar (efek dakwah). Keseluruhan dari subsistem dakwah ini merupakan satu kesatuan yang sangat terkait satu dengan yang lain. Jika satu subsistem saja terlepaskandari sistem dakwah maka target pencapaian cita-cita dakwah menjadi terganggu.[5]
Dalam sistem selalu terdapat input, output dan proses. Ketiganya harus selalu terkait dengan sambung-menyambung terus-menerus sehingga merupakan suatu proses yang tidak berhenti pada satu titik.
Input : da’i sebagai sumber informasi atau sebagai komunikator
Output : cita-cita dakwah yang merupakan cita-cita jangka panjang
Proses : pelaksana dakwah
Feedback : proses umpan balik dari mitra dakwah setelah proses dakwah, yang kemudian diikuti proses evaluasi secara cermat dan tindakan korektif, untuk selanjutnya berproses secara menyeluruh tetapi saling berkaitan dan sambung-menyambung dan akhirnya pada garis final yang merupakan cita-cita dakwah (output).[6]
Menurut Amrullah Ahmad pada umumnya sistem terdiri dari lima komponen dasar, yaitu input (masukan), convertion (proses pengubahan), output (keluaran), feedback (umpan balik), dan environment (lingkungan). Lebih rinci lagi beliau mengatakan bahwa:[7]
1.    Komponen input terdiri dari:
a.      Rew input
b.      Instrumental input
c.       Environmental input
Kesemuanya itu berfungsi memberikan informasi, energi, dan materi yang menentukan sistem.
2.    Komponen konversi yang berfungsi mengubah input menjadi output merealisir ajaran Islam menjadi realitas sosio-kultural yang diproses dalam kegiatan administrasidakwah (organisasi manajemen, kepemimpinan, komunikasi dakwah, dan sebagainya).
3.    Komponen output yang merupakan hasil dakwah, yaitu terciptanya realitas baru menurut ukuran tujuan ideal dan tujuan dari sistem yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits.
4.    Komponen feedback yang berfungsi memberikan pengaruh baik yang positif maupun yang negatif terhadap sistem dakwah khususnya, dan realitas sosio-kultural pada umumnya.
5.    Komponen lingkungan yang berfungsi sebagai kenyataan yang hendak diubah atau memberikan pengaruh terhadap sistem dakwah terutama memberikan masukan permasalahan yang perlu dipecahkan yang menyangkut segala segi kehidupan.
Sistem dapat dibagi menjadi sistem terbuka yaitu sistem yang menerima input dari luar dan mengeluarkan output keluar sistem dan sebaliknya ada sistem tertutup. Dengan artian, sistem dakwah dapat disebut sebagai sistem input menjadi output adalah bahwa sistem dakwah dibentuk oleh komponen-komponen yang mentransformasikan input menjadi output (realitas Islam). Faktor kualitas da’i dalam proses pengubahan ini sangat menentukan, dan terakhir adalah faktor hidayah dari Allah SWT. Proses interelasi dan interaksi komponen dipandang sebagai fungsi yang menghubungkan input dan output sistem. Kemudian yang dimaksud dengan dakwah sebagai sistem terbuka artinya sistem dakwah dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural. Sedangkan sistem dakwah sebagai sistem feedback artinya sistem dakwah dipengaruhi oleh umpan balik yang datang dari sistem itu sendiri. Meskipun umpan balik itu tidak langsung tetapi output sistem yang diberikan kepada lingkungan akan memengaruhi kondisi lingkungan dengan kadar apa pun.[8]
B.  Unsur-unsur Dakwah
Sebelum kita membahas apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam dakwah, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu makna unsur-unsur dakwah. Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang selalu ada dalam setiap kajian dakwah. Unsur-unsur itu antara lain adalah da’i (subyek dakwah), mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media dakwah), thariqah (metode), dan atsar (efek dakwah).[9]
1.    Da’i (subyek Dakwah)
Subjek dakwah adalah pelaku dakwah. Faktor subjek dakwah sangat menentukan keberhasilan aktivitas dakwah. Maka subjek dakwah dalam hal ini da’i atau lembaga dakwah hendaklah mampu menjadi penggerak dakwah yang profesional. Baik gerakan dakwah yang dilakukan oleh individual maupun kolektif, profesionalisme amat dibutuhkan, termasuk profesionalisme lembaga-lembaga dakwah.[10]
Da’i juga sering disebut sebagai “Muballigh” yang berarti orang yang menyampaikan ajaran Islam. Da’i merupakan unsur dakwah yang paling penting, karena tanpa da’i Islam hanya sekedar ideologi saja dan tidak bisa terwujud dalam kehidupan masyarakat. Jadi, sebaik apa pun ideologi Islam yang harus disebarkan di masyarakat tidak pernah terwujud tanpa adanya manusia yang akan menyebarkannya.[11]
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa ada dua sifat yang harus dimiki oleh seorang da’i yaitu:[12]
a.    Perintah agar da’i istiqomah, tidak memperturutkan hawa nafsu, menjelaskan tentang ketegarannya dalam iman, berbuat adil, dan berusaha berdakwah sampai pada non-Muslim. Allah berfirman:
فَلِذٰلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَاۤ أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاۤءَهُمْ وَقُلْ أٰمَنْتُ بِمَاۤ أَنْزَلَ اللهُ مِنْ كِتَابٍ وَّاُمِرْتُ لِاَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ....﴿۱۵﴾
Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allahlah Tuhan kami dan Tuhanmu.... (QS. Asy-Syura: 15)
b.    Bertawakal dalam dakwah dari meyakini kebenaran dakwah yang disampaikan. Allah berfirman:
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ اِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ ﴿۷۹﴾ اِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءِ اِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ﴿۸٠﴾
Artinya : “Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata.....” (QS. An-Naml: 79-80)

Sementara itu, untuk mewujudkan seorang da’i yang profesional yang mampu memecahkan kondisi mad’unya sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang dihadapi oleh objek dakwah, ada beberapa kriteria. Adapun sifat-sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang da’i secara umum, yaitu:[13]
a.    Mendalami al-Qur’an dan Sunnah dan sejarah kehidupan Rasul serta, khulafaurrasyidin.
b.     Memahami keadaan masyarakat yang akan dihadapi.
c.    Berani dalam mengungkapkan kebenaran kapan pun dan dimana pun.
d.   Ikhlas dalam melaksanakan tugas dakwah tanpa tergiur oleh nikmat materi yang hanya sementara.
e.    Satu kata dengan perbuatan.
f.     Terjauh dari hal-hal yang menjatuhkan harga diri.
Abul A’la Al Maududi dalam bukunya “Tadzakiratud Du’atil Islam” mengatakan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki da’i secara perorangan dapat disimpulkan sebagai berikut:[14]
1.    Sanggup memerangi musuh dalam dirinya sendiri yaitu hawa nafsu untuk taat sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum memerangi hawa nafsu orang lain.
2.    Sanggup berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan dirinya dihadapan Allah dan dihadapan masyarakat.
3.    Mampu menjadi hasanah dengan budi dan akhlaknya bagi masyarakat yang menjadi mad’unya.
4.    Memiliki persiapan mental yang terdiri dari:
a.    Sabar, yang meliputi sifat-sifat teliti, tekad yang kuat, tidak bersikap pesimis dan putus asa, kuat pendirianserta selalu memelihara keseimbangan akal dan emosi.
b.    Senang memberi pertolongan kepada orang dan bersedia berkorban, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta serta kepentingan yang lain.
c.    Cinta dan memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan.
d.   Menyediakan diri untuk bekerja yang terus menerus secara teratur dan berkesinambungan.  
2.    Mad’u (mitra dakwah)
Unsur dakwah yang kedua adalah mad’u yaitu manusia yang menjadi sasarn dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun kelompok, baik Islam atau agama lainnya.[15]
Jika dakwah yang ditujukan kepada manusia yang belum beragama Islam, maka bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut dengan mitra dakwah dari pada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan yang menjadikan orang lain sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari’ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.[16]
     Mad’u terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad’u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri. Mad’u bisa di bagi-bagi berdasarkan agama, status sosial, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad’u tersebut antara lain sebagai berikut:[17]
1.    Dari segi sosiologis, ada masyarakat terasing, pedesaan, kota besar, dan kota kecil, serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
2.    Dari segi struktur kelembagaan, ada masyarakat pemerintah dan keluarga.
3.    Dari segi sosial-kultural, ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat Jawa.
4.    Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan golongan orang tua.
5.    Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri.
6.    Dari segi tingkatan hidup sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah dan miskin.
7.    Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita.
8.    Dari segi khusus, ada masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana, dan sebagainya.

Mad’u juga bisa dilihat dari derajat pemikirannya sebagai berikut:[18]
a.    Umat yang berpikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu berpikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan padanya.
b.    Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru (suggestible) tanpa menimbang-nimbang secara mantap apa yang dikemukakan kepadanya.
c.    Umat bertaklid, yaitu golongan yang fanatik, buta berpegang pada tradisi, dan kebiasaan turun-temurun tempat menyelidiki salah satu benarnya.
Selain itu, seorang da’i dalam aktivitas dakwahnya hendaklah memahami karakter dan siapa yang akan diajak bicara atau siapa yang akan menerima pesan-pesan dakwahnya. Kemudian, seorang da’i juga perlu mengetahui klasifikasi dan karakter objek dakwah. Hal ini dianggap penting sekali agar pesan-pesan dakwah bisa diterima dengan baik oleh mad’u. Dengan demikian, seorang da’i akan lebih terarah dalam menyampaikan materinya dan mad’u akan dengan mudah menerima pesan-pesan dakwah yang disampaikan oleh subjek dakwah, karena baik materi, metode, maupun media yang digunakan dalam berdakwah tepat sesuai dengan kondisi mad’u sebagai objek dakwah.[19]
3.    Maddah (materi dakwah)
Unsur lain yang selalu ada dalam proses dakwah maddah atau materi dakwah. Maddah dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i pada mad’u. Dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah dakwah adalah bidang akidah, syari’ah (ibadah dan mu’amalah) dan Akhlak. Kesemuanya itu bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, ijtihad ulama’, sejarah peradaban Islam.[20] Akan tetapi, ajaran Islam yang dijadikan maddah dakwah itu pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:[21]

1.    Akidah yang meliputi:
a.    Iman kepada Allah
b.    Iman kepada Malaikat-Nya
c.    Iman kepada Kitab-kitab-Nya
d.   Iman kepada Rasul-rasul-Nya
e.    Iman kepada hari akhir
f.     Iman kepada qadha-qadhar
2.    Syari’ah
a.    Ibadah (dalam arti khusus):
·       Thaharah
·       Sholat
·       Zakat
·       Shaum
·       Haji
b.    Mua’amalah (dalam arti luas) meliputi:
1.    Al-Qanunul Khas (hukum perdata);
·      Muamalah (hukum niaga)
·      Munakahat (hukum nikah)
·      Waratsah (hukum waris)
·      Dan lain sebagainya.
2.    Al-Qanunul ‘Am (hukum publik);
·      Hinayah (hukum pidana)
·      Khilafah (hukum negara)
·      Jihad (hukum perang dan damai)
·      Dan lain-lain
3.    Akhlaq, yaitu meliputi:
a.    Akhlaq terhadap khaliq
b.    Akhlaq terhadap makhluk, yang meliputi:
·      Akhlaq terhadap manusia
a.       Diri sendiri
b.      Tetangga
c.       Masyarakat Lainnya
·      Akhlaq terhadap bukan manusia
a.       Flora
b.      Fauna
c.       Dan lain sebagainya.
4.    Wasilah (media dakwah)
Media dakwah sarana yang digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Disebutkan oleh Deddy Mulyana bahwa media bisa merujuk pada alat maupun bentuk pesan, baik verbal maupun nonverbal, seperti cahaya dan suara. Saluran juga bisa merujuk pada cara penyajian, seperti tatap muka (langsung) atau lewat media, seperti surat kabar, majalah, radio, telepon dan televisi. Sering pula disebut bahwa apa yang dikategorikan sebagai media juga disebut sebgai cara atau metode. Cara dakwah dengan menerangkan maupun menginformasikan, terutama menginformasikan lewat lisan mislanya, sering disebut dakwah bil-al-lisan, karena menginformasikan dan menerangkannya dengan lisan. Jadi, terkadang penggunaan istilah memiliki konotasi sesuai maksud penggunanya, terutama istilah-istilah yang memiliki makna samar dan beragam.[22]
5.    Thariqah (metode dakwah)
Hal yang sangat erat kaitannya dengan Wasilah dakwah adalah Thariqah (metode) dakwah. Kalau Wasilah itu merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam, maka Thariqah adalah metode atau cara-cara yang digunakan dalam berdakwah. Namun, sebelum kita membahas metode dakwah alangkah baiknya jika kita mengetahui makna metode itu sendiri. Kata “metode” berasal dari bahasa Latin “metthodos” yang berarti cara. Sedangkan dalam bahasa Yunani, “methodos” berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa Inggris “method” diterjemahkan dengan metode atau cara.[23] Dengan demikian, secara singkat dapat ditegaskan bahwa metode adalah suatu kerangka kerja dan dasar-dasar pemikiran untuk mendapatkan cara-cara yang sesuai dan tepat untuk mencapai suatu tujuan.
Banyak metode dakwah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, akan tetapi pedoman pokok dari keseluruhan metode tersebut adalah firman Allah Surat An-Nahl ayat 125
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ﴿۱۲۵ ﴾
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu, dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Dari ayat di atas secara garis besar ada tiga pokok metode (Thariqah) dakwah yaitu :[24]
1.      Hikmah yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.
2.      Mauidhah Hasanah yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaiakn ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihat dan ajaran Islam   yang disampaikan dapat menyentuh hati mereka.
3.      Mujadalah yaitu berdakwah dengan cara betukar pikiran atau membantah dengan cara yang sebaik-baiknyan dengan tidak  memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjelekkan orang yang menjadi sasaran dakwahnya.
6.    Atsar (efek dakwah)
Atsar sering disebut dengan feedback (umpan balik) dari proses dakwah. Hal ini bahkan sering kali dilupakan oleh da’i. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam menentukan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Adapun hal-hal perlu dievaluasi sebagai upaya mencapai tujuan dakwah yaitu ada tiga antara lain:[25]
a.    Efek kognitif
Setelah menerima pesan dakwah, mad’u akan menyerap isi dakwah tersebut melalui proses berpikir, dan efek kognitif ini bisa terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dan dimengerti oleh mad’u tentang isi pesan yang diterimanya. Jadi dengan menerima pesan melalui kegiatan dakwah, diharapkan akan mengubah cara berpikir seseorang tentang ajaran agama sesuai dengan pemahaman yang sebenarnya. Seseorang dapat paham atau mengerti setelah melalui proses berpikir. Dalam berpikir seseorang mengolah, mengorganisasikan bagian-bagian dari pengetahuan dan pengalaman yang tidak teratur dapat tersusun rapi dan merupakan kebutulatan yang dapat dikuasai dan dipahami. Aspek kognitif ini amat menentukan aspek-aspek perubahan berikutnya.
b.    Efek afektif
Efek ini adalah pengaruh dakwah berupa perubahan sikap mad’u setelah menerima pesan. Sikap sama dengan proses belajar dengan tiga variabel sebagai penunjangnya, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan. Pada tahap ini pula penerima dakwah dengan pengertian dan pemikirannya terhadap pesan dakwah yang telah diterimanya akan membuat keputusan untuk menerima atau menolak pesan dakwah. 
c.    Efek behavioral
Efek ini merupakan suatu bentuk efek dakwah yang berkenaan dengan pola tingkah laku mad’u dalam merealisasikan materi dakwah yang telah diterima dalam kehidupan sehari-hari. Efek ini muncul setelah melalui proses kognitif dan afektif. Jadi, perbuatan atau perilaku seseorang itu pada hakikatnya adalah perwujudan dari perasaan dan pikirannya. Adapun dalam hal ini perilaku yang diharapkan adalah perilaku yang sesuai dengan pesan dakwah, yakni perilaku positif sesuai dengan ajaran Islam baik bagi individu ataupun masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem Islam dan sistem dakwah Islam maka merupakan suatu ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi yang diantara isi-isi wahyu itu sangat terkait antara satu dengan lainnya. Seperti halnya Al-Qur’an  yang merupakan sistem wahyu dan ayat-ayatnya pun tidak bisa dilepaskan begitu saja dari ayat-ayat yang lain. Begitu juga dengan hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Beberapa subsistem yang merupakan komponen dakwah tersebut tidak lain adalah unsur-unsur dakwah itu sendiri, yaitu da’i, mad’u (obyek dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media), metode (thariqah), dan atsar (efek dakwah). Keseluruhan dari subsistem dakwah ini merupakan satu kesatuan yang sangat terkait satu dengan yang lain. Jika satu subsistem saja terlepaskandari sistem dakwah maka target pencapaian cita-cita dakwah menjadi terganggu.
B.  Saran
Setitik harapan dari kami sebagai penyusun kepada semua pihak baik pengoreksi maupun pembaca untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Karena makalah yang kami susun ini masih terlihat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah ini.
                                                                       






DAFTAR PUSTAKA

Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, Jakarta : Rajawali Pers, 2011.
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta : Kencana, 2004.
Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, Pamekasan: STAIN Pmk Press, 2000.
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta : Amzah, 2009.
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.



[1] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 71
[2] Ibid, hlm. 71
[3] Ibid, hlm. 72
[4] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, (Pamekasan: STAIN Pmk Press, 2000),  hlm. 33
[5] Ibid, hlm. 73
[6] Ibid, hlm. 73
[7] Ibid, hlm. 74
[8] Ibid, hlm. 75
[9] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 38
[10] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Amzah, 2009),  hlm. 13
[11] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 38
[12] Ibid, hlm. 80
[13] Ibid, hlm. 81
[14] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 38
[15] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 45
[16] Ibid, hlm. 90
[17] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 46
[18] Ibid, hlm. 92
[19] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Amzah, 2009),  hlm. 15
[20]  Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 8
[21] Ibid, hlm. 94
[22] Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hlm. 13
[23] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 56
[24] Mohammad Hasan, Buku Ajar Ilmu Dakwah, hlm. 57
[25] Ibid, hlm. 139-143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar